Saya Resmi Positif Terinfeksi Covid-19

Artikel ini adalah bagian dari jurnal hidup di tengah pandemi Covid-19. Artikel ini diharapkan bisa terbit secara berseri. Artikel ini sebatas swa-terapi selama masa isolasi mandiri di rumah.

Ilustrasi.

****

Ah saya pikir ini pusing biasa. Esok harinya bertambah jadi panas. Tenggorokan agak sakit. Batuk dan pilek disertai bersin.

“Mungkin ini karena kebanyakan di rumah,” pikir saya, Selasa (5/7/2021).

Dua minggu ke belakang, kantor saya menerapkan kebijakan kerja full Work From Home (WFH). Saya banyak menghabiskan waktu di rumah selama WFH.

Jujur, saya bukanlah tipe pekerja kantoran dan rumahan. “Kantor” saya di bawah terik matahari, pinggir sungai, selokan bau, di pinggir gedung terbakar, dan tempat-tempat absurd lainnya. Bosan!

Bekerja sebagai wartawan di tengah pandemi Covid-19 memang punya tantangan tersendiri. Dengan status sebagai reporter desk Megapolitan, liputan dan wawancara narasumber di lapangan adalah kunci. Keterbatasan narasumber via telpon memang jadi kendala.

Oleh karena itu, lengah dalam penerapan protokol kesehatan sangatlah mungkin terjadi. Ya, itu yang paling mungkin saya lakukan di tengah bahaya risiko penularan Covid-19.

Saya sama sekali tak melakukan liputan ke lapangan selama WFH. Terakhir saya melakukan peliputan yaitu di vaksinasi keliling dari Polda Metro Jaya di Kemang, Jakarta Selatan pada Selasa (29/7/2021) dan di kawasan Jakarta Pusat. Waktu itu, saya ingat betul menghubungi rekan wartawan di wilayah Jakarta Pusat, Wili pada Sabtu (3/7/2021).

“Posisi lagi di mana, Kaka Wili?,”

“Di Sawah Besar. Siap gimana Abang,” balas Wili dengan logatnya yang khas.

“Nanti malam kita muter cari taruna, Kaka Wili. Nanti gue kabari kalo ke Pusat ya,”

“Oke siap, Bang,” tandasnya.

Pada malam itu, saya bersama Wili tak banyak bertemu orang. Ada lima orang secara terpisah yang kami temui. Satu adalah satpam sebuah gerai makanan cepat saji dan dua temannya.

Sementara itu, dua lainnya adalah narasumber kasus tawuran warga yang berujung pembacokan hingga tewas di Jalan Raya Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.

Di lokasi tawuran, ada juga dua wartawan televisi yang saya temui. Setelah itu, kami berpisah. Kami bertemu lagi di perlintasan rel kereta api Stasiun Senen.

“Luncur Tanah Tinggi, Taruna,” ujar rekan wartawan televisi sekitar pukul 02.00 WIB.

Kalimat itu mengawali pertemuan saya dan rombongan Satuan Patroli dan Pengawalan Polda Metro Jaya. Saat itu, polisi menangkap sekelompok remaja yang keluar tengah malam di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Saya memang sengaja memilih keluar malam hari dengan pertimbangan suasana yang sepi. Banyak tempat yang menyediakan suasana tak berkerumun. Selain itu, saya pun hanya keluar seorang diri.

Sepulang itu, saya beristirahat di Pos Polisi Gambir di kawasan Monas Timur. Sebuah pos polisi di dalam kawasan Stasiun Gambir. Di situ, saya hanya berdua dengan Wili dan ditemani moncong nyamuk yang menghujam kulit.

Di pos polisi itu, saya numpang beristirahat dan bekerja hingga sore hari. Di sore hari, saya menyempatkan untuk bertemu rekan wartawan lain yang sedang berjuang mengantre oksigen untuk adiknya yang sedang terpapar Covid-19.

Setelah itu, saya pulang ke rumah ke Depok.

Gejala Muncul

Badan ini sungguh tak enak. Bukan menggigil, melainkan hanya sedikit panas. Persendian agak sakit. Ya, khas sekali dengan gejala influenza.

Sepanjang hari Selasa (6/7/2021), saya terbaring lemas. Hari itu saya meminta izin untuk tak masuk kerja kepada Sabrina, atasan saya di desk Megapolitan.

“Mba Sab, gw izin ga masuk besok. Agak puyeng kepala. Hari ini dari siang agak puyeng,” tulis pesan chat saya kepada Sabrina.

“Iyah oke yuu silakan,” balasnya.

Rasanya memang seperti Covid-19. Di kepala saya agak terlintas kalau terpapar Covid-19. Di hari sebelumnya, saya bahkan sudah berencana untuk melakukan swab test antigen di Polres Metro Jakarta Selatan tetapi urung.

Ada satu yang tak bikin tak curiga. Dada saya tak sesak seperti pada umumnya gejala berat yang dialami oleh pasien Covid-19. Saya masih berpikir, “Ah ini cuma kelelahan dan karena kebanyakan di rumah.”

Saya pun menceritakan kepada pasangan saya, Dea. Saya baru beritahu dia pada hari Rabu kalau saya izin tak masuk kerja.

“Pusing-pusing dikit. Kelamaan di rumah,”

“Cepet sembuh ya ayku. Minum air putih banyakin,” balas Dea.

Ia pasti sangat khawatir. Itu terbukti saat saat saya pergi ke klinik dekat rumah pada Kamis malam. Saya kirimkan swafoto dengan masker dua lapis.

Saya berniat untuk menjalani swab test antigen. Harganya Rp105.000. Awalnya saya ingin mencoba swab test antigen di kawasan Warung Buncit-Warung Jati, Pancoran, Jakarta Selatan yang belakangan viral karena harganya murah. Namun, teman saya tak menyarankan.

“Mending jangan di (Warung) Buncit rame bener, di klinik biasa aja sama kok gak sampe 100 rb,” ujar Kamil, wartawan desk Nasional di sebuah kantor berita di kawasan Palmerah.

Saya kemudian meluncur ke sebuah klinik di kawasan Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat. Klinik yang tak terlalu besar itu cukup sepi. Di dalam klinik, antrean tak sampai tiga nomor.

“Nomor 30,” ujar penjaga klinik.

Saya yang memegang nomor antrean 30, langsung masuk ke ruang periksa. Klinik ini cukup familiar bagi saya. Sekitar dua tahun yang lalu, di ruangan yang sama, telapak tangan saya pernah dijahit karena kecelakaan.

“Mulutnya buka, teriak A yaaa,” kata dokter perempuan sambil memasukkan alat tes ke kedua lubang hidung.

Rasa swab tes antigen tak banyak berbeda dengan biasanya. Lubang hidung gatal. Menitikkan air mata pun pasti terjadi. Yang berbeda tentu harga jika mesti mengambil swab test PCR.

Tak sampai 15 menit, hasil swab test antigen saya muncul. Petugas klinik meletakkan sebuah amplop dan balok putih kecil tanda tes. Di situ saya melihat satu garis merah tebal dan satu garis merah samar-samar.

“Mau difoto Mas?” ujar petugas klinik.

Setelah saya foto, saya bergegas membawa amplop itu keluar dari klinik. Saya duduk di sebuah bangku kecil milik warung di pinggir jalan. Perlahan saya buka rekatan amplop. Agak sulit dan terpaksa saya robek.

Isi lipatan kertas hasil swab antigen itu mulai terlihat. Nama pasien muncul. Mata mulai menelusur ke bagian bawah dan ternyata.

“Positif,”

Kaki mendadak lemas. Yang pertama ada dalam pikiran adalah kondisi orang tua. Segera mungkin saya hubungi orangtua untuk melakukan swab test antigen.

Bapak dan ibu saya segera menyusul. Namun, sayang, klinik tempat saya jalani swab test ternyata sudah menutup layanan. Ibu saya segera meluncur ke klinik lain dan saya kembali ke rumah.

“Ibu bapak negatif,” kata ibu saat saya sudah mulai mengisolasi diri di kamar atas.

Gejala Hilang, PCR Positif

Sehari setelah hasil swab tes antigen menunjukkan hasil positif, hidup saya sebagian besar dihabiskan di kasur. Kabar baiknya, saya dan orangtua bisa terpisah cukup jauh. Kabar buruknya, saya tak bisa berinteraksi.

Obat beraneka ragam mulai muncul. Lain kali akan saya jelaskan obat-obat apa saja yang saya konsumsi. Sebenarnya, kondisi badan saya terbilang cukup baik. Tak ada gejala yang tersisa.

Indra penciuman dan perasa relatif berfungsi. Tak ada pusing. Batuk dan pilek hilang. Persis seperti kategori Orang Tanpa Gejala (OTG).

Sabrina, Dea, maupun rekan-rekan lain saya pun menanyakan lewat pesan singkat kabar terkini saya. Saya memang sempat mengabarkan kepada satu rekan saya di organisasi Mapala UI bahwa saya positif Covid-19. Dari rekan saya, ternyata berita itu cepat menyebar luas di kalangan rekan-rekan pencinta alam UI.

Doa-doa penyemangat mulai berdatangan. Ada yang lewat telepon, ada juga yang lewat pesan Whatsapp.

Saya sendiri masih penasaran dengan kondisi tubuh. Banyak kasus para penderita Covid-19 yang saya temui, swab antigen positif, tetapi swab PCR negatif. Entahlah.

Itulah yang saya membuat tetap ingin mengecek kondisi kesehatan saya lewat swab test PCR. Saya kontak Sabrina untuk rencana PCR. Ia bilang akan menghubungi pihak HRD kantor untuk penjadwalan swab tes PCR. Di hari Jumat, surat keluar dan saya dapat tempat test di sebuah klinik di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Pada Sabtu pagi jelang siang, saya keluar rumah untuk kali pertama dengan status positif Covid-19 dari swab tes antigen. Saya nyalakan motor untuk menuju Halim Perdanakusuma.

“Gak pusing kan? Kalau pusing minggir aja dulu” kata ibu saya.

Matahari saat itu terlihat garang. Langit cerah dan terik matahari terpancar. Di Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan, petugas bersiaga. Mereka berjaga di titik penyekatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Sejumlah petugas menghentikan saya.

“Saya mau swab test PCR ke Halim, Ndan. Ini suratnya,” kata saya sambil menunjukkan surat pengantar digital di handphone.

Roda motor berputar lancar melewat Jalan Raya Pasar Minggu hingga Jalan Raya Kalibata. Saya berbelok ke arah Jalan Raya Dewi Sartika lalu menuju perempatan PGC-Cililitan. Saya ambil jalan lurus melewati Jalan Cililitan Besar.

Dari situ, sekitar tiga kilometer saya melaju menuju tempat swab tes PCR. Bandara Halim Perdanakusuma terlihat dan kemudian berbelok ke arah utara.

Klinik itu tak terlihat seperti fasilitas kesehatan. Begitu tiba, petugas klinik meminta surat pengantar dari kantor dan kartu identas saya. Saya segera melakukan swab tes PCR.

“Sehari paling cepat ya nanti dikabari ke kantor,” ujar petugas klinik. Saya pun kembali ke rumah.

Hari Minggu saya lewati seperti hari Sabtu. Tak ada matahari yang bersinar di Depok lantaran langit agak mendung. Kegiatan hanya saya habiskan di rumah. Kabar tentang hasil PCR pun tak datang meski saya kirim pesan ke klinik.

Di hari Senin saya yakin hasil itu sudah dikirimkan ke kantor. Sabrina pun menanyakan hasil. Saya jawab, “Hasilnya dikirim ke kantor, Mba Sab,”.

Ia meminta untuk mengecek ke sekretariat redaksi. Begitu saya telepon, Mbak Ira, sapaan akrabnya, menjawab akan mengecek ke pihak HRD.

Tak lama, ia mengirimkan pesan ke saya.

‘Wahyu,”

“Gimana Mba Ira, positif ya?”

“Iya, positif,”

Tepat pada hari Senin (13/7/2021) pukul 16.37 WIB, saya resmi positif terinfeksi Covid-19.

Kaum Miskin Kota Sekarat di Tengah Corona

warga kampung muka, kelurahan ancol, kecamatan pademangan, jakarta utara, wabah covid-19, physical distancing

Sejumlah warga Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara menghabiskan waktu sore di warung semi permanen pada Minggu (5/4/2020). Saat ini, Indonesia menghadapi wabah pandemi virus corona dan mengharuskan setiap orang melakukan pembatasan fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan. Pemerintah menyatakan per Senin (6/4/2020) sore, ada 2.491 orang positif virus corona, 192 orang sembuh, dan 209 orang sembuh.

Mereka tak punya banyak pilihan. Di tengah wabah pandemi corona, keluar atau diam di rumah bisa berpotensi menyebabkan kematian. Mati karena corona atau mati kelaparan. 

***

Sri dan Eli berbincang di sebuah dipan beratapkan terpal sembari menunggu senja di pinggir lapangan Kampung Muka. Bau dari sisa-sisa sampah plastik dan kotoran ayam di sekitar mereka serasa menusuk ke dalam sukma.

Beruntung angin tak berhembus kencang. Selain bau, debu-debu tentu siap membuat dada sesak. Meski begitu, Sri dan Eli tetap melemparkan senyum sambil menyantap nasi aking yang baru saja matang.

“Sekarang susah mas. Ada corona ini gak jualan, Bingung mau makan apa. Gak ada uang,” kata Sri, perempuan setengah baya sambil menguyah kudapannya pada Minggu (5/4) lalu,

Anak perempuan Eli juga tak kalah cepat menjumput nasi aking dari tampah plastik. Ia pun unjuk gigi untuk urusan kulineran pada sore itu.

Bagi mereka, camilan nasi aking sore itu adalah sebuah kemewahan yang bahkan rela untuk dibagikan.

“Ayo mas, makan. Enak ini, apalagi kalau dikasih Masako (bumbu penyedap rasa),” kata anak perempuan Eli tertawa sembari menawarkan.

Mereka duduk bersebelahan bersama tetangga lainnya. Sri dan Eli berkumpul bersama para tetangganya. Sisa-sisa nasi aking pun disantap sebagai teman berkeluh kesah.

“Kalau mengeluh gini bakal ditangkap ga? Takutnya saya ditangkap. Keadaan sudah susah gini, kalau ditangkap makin susah,” kata Eli.

warga kampung muka, kelurahan ancol, Kecamatan Pademangan, kelurahan ancol, wabah covid-19, physical distancing

Suasana Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, Minggu (5/4/2020) sore. Saat ini, Indonesia menghadapi wabah pandemi virus corona dan mengharuskan setiap orang melakukan pembatasan fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan. Pemerintah menyatakan per Senin (6/4/2020) sore, ada 2.491 orang positif virus corona, 192 orang sembuh, dan 209 orang sembuh.

Kampung Muka adalah sebuah kampung yang masuk ke dalam RT 004 RW 05 di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Dari Jalan Raya Kampung Bandan, letaknya berseberangan dengan Terminal Angkutan Barang Stasiun Jakarta Gudang.

Dari sana, rumah-rumah beratap besi, berdinding kayu dan batako, pintu rumah bersebelahan, dan rumah reyot yang dihuni oleh manusia bisa dilihat dengan jelas. Karung-karung besar berisi botol bekas menumpuk di pinggir lapangan.

Pemandangan kumuh, kotor, langsung terlihat begitu kita memasuki kawasan Kampung Muka. Suasana demikian tak berbeda jauh dengan kehidupan liar di Kampung Bandan.

Masalah kebersihan dan kesehatan bentuk keniscayaan di kampung yang tak jauh gegap gempita kota. Kehidupan ala kelas proletar yang jauh dari realita kelas borjuis.

Sampah-sampah plastik bisa mudah ditemukan. Hewan peliharaan berkeliaran di lapangan. Anak-anak hidup berdampingan debu jalanan dan lapangan.

Untuk sanitasi, warga juga tak banyak berharap. Kampung Muka merupakan tempat tinggal para kelas pekerja yang terus berjuang untuk hidup lebih baik.

Di Kampung Muka, ada banyak pekerja informal yang menggantungkan hidupnya di Kota Tua. Mereka berjualan makanan, minuman, aksesoris, pemulung barang bekas, dan pedagang lainya.

Sri dan Eli adalah sosok pedagang minuman di kawasan wisata Kota Tua. Mereka sudah hampir tiga minggu tak berjualan di Kota Tua lantaran efek penutupan kawasan wisata Kota Tua.

warga kampung muka, kelurahan ancol, kecamatan pademangan, jakarta utara, wabah covid-19, physical distancing

Seorang warga Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara menghabiskan waktu sore di beranda rumah bedeng pada Minggu (5/4/2020). Saat ini, Indonesia menghadapi wabah pandemi virus corona dan mengharuskan setiap orang melakukan pembatasan fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan. Pemerintah menyatakan per Senin (6/4/2020) sore, ada 2.491 orang positif virus corona, 192 orang sembuh, dan 209 orang sembuh.

Sejak Sabtu (14/3), kawasan Kota Tua termasuk obyek wisata di sekitarnya seperti Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Keramik, dan Museum Bank Mandiri sudah ditutup untuk kunjungan wisata. Wisatawan tak bisa masuk ke area pelataran Museum Sejarah Jakarta.

Setiap lorong-lorong jalan akses masuk ditutup dan dijaga petugas. Petugas akan selalu menanyakan orang yang berusaha masuk ke area Kota Tua. Spanduk berisi informasi penutupan area Kota Tua juga terpasang di beberapa titik.

Kawasan Kota Tua tak jauh dari Kampung Muka. Jaraknya sekitar satu kilometer. Biasanya, para pedagang menggelar lapaknya di pedestrian sekitar kawasan Kota Tua.

Kota Tua layak seperti kota mati. Denyut nadi ekonomi kelas miskin kota di Kota Tua tak berdetak.

Meski demikian, para pedagang pada Minggu (5/3), masih ada yang bersikukuh berjualan di sekitar Stasiun Jakarta Kota. Kondisi lalu lintas lengang.

Tak banyak yang berkerumun seperti biasa kegiatan plesiran di Kota Tua.

Menurut seorang pengelola wisata Kota Tua, ini satu-satunya dalam sepanjang sejarah kondisi Taman Fatahillah kosong melompong.

“Kalau mau dagang juga siapa yang beli? Sama sekali ga ada pemasukan sekarang. Ini ngomong seperti ini gapapa kan? Nanti ditangkap lagi. Kan ga boleh ngomong sembarangan katanya,” keluh Sri sembari menengok ke kiri dan kanan.

Pedagang kopi dan rokok keliling, Sutrisno saat ditemui di Kota Tua mengatakan ia belum mendapatkan uang sepeser pun selama berjualan lebih kurang empat jam.

Ia baru mendapatkan uang sebesar Rp 30.000 dari hasil penjualan satu botol air mineral dan sebungkus rokok saat wawancara ini dimulai.

“Dipakai makan udah habis uang. Sepi gini selama pertama ada corona. Jualan begini yang ada modal abis. Paling dapat 50 ribu. Apalagi kalau diem di rumah, kontrakan belum dibayar,” kata Sutrisno yang berperawakan umur 65 tahunan.

anak kampung muka, kelurahan ancol, kecamatan pademangan, wabah covid-19, physical distancing

Seekor ayam sedang minum air dari sebuah ember yang berisi piring kotor di Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara pada Minggu (5/4/2020). Saat ini, Indonesia menghadapi wabah pandemi corona dan mengharuskan setiap orang melakukan pembatasan fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan. Pemerintah menyatakan per Senin (6/4/2020) sore, ada 2.491 orang positif corona, 192 orang sembuh, dan 209 orang sembuh.

Berbicara tentang corona ia bernada tinggi. Sutrisno kecewa dengan berbagai berita tentang corona yang membuat masyarakat takut keluar.

Ia langsung meninggalkan gerobaknya sambil terus merapal dan duduk di pinggir jalan sambil menyulut api ke rokoknya.

‘Takut kok sama corona, takut sama Tuhan. Urusan ajal udah diatur,” ujar Sutrisno dengan nada pasrah.

Fakta demikian memang banyak ditemukan di lapangan. Keputusasaan masyarakat miskin menghilangkan logika.

Bagi mereka, urusan perut dan makan anak dan istri seperti berharga dibandingkan nyawa.

Masih lekat di ingatan kita, pada akhir Maret lalu Menteri Keuangan Jerman untuk negara bagian Hesse, Thomas Schaefer, bunuh diri karena diduga putus asa menanggung dampak ekonomi virus corona.

Tak hanya pedagang, warga Kampung Muka juga ada yang bekerja sebagai buruh bangunan. Sutrisno salah satunya. Ia merupakan kuli bangunan yang sudah tak bekerja saat kebijakan physical distancing didengungkan.

Ia pun hanya tinggal di rumah di tengah bencana non-alam saat ini. Pekerjaannya tak bisa ia lanjutkan. Proyek pengerjaan bangunan tempat ia bekerja sementara ditangguhkan.

“Sehari-hari jadi mati total pemasukannya. Kita kan gak (bisa) hidup sama sekali, Pak,” ujar Sutrisno sambil disahuti kokokan ayam.

Sutrisno tinggal tak jauh dari sisi lapangan bola Kampung Muka. Masyarakat sekitar mengenal lapangan itu dengan nama Tanah Merah.

Setiap sore warga Kampung Muka berkumpul di lapangan untuk berbagai aktivitas seperti bermain sepak bola, burung dara, layangan, bersenda gurau, mengasuh anak-anak, makan angin, atau melamun memikirkan nasib.

anak kampung muka, kelurahan ancol, kecamatan pademangan, wabah covid-19, physical distancing

Anak-anak Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara bermain di area perkampungan pada Minggu (5/4/2020). Saat ini, Indonesia menghadapi wabah pandemi virus corona dan mengharuskan setiap orang melakukan pembatasan fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan. Pemerintah menyatakan per Senin (6/4/2020) sore, ada 2.491 orang positif corona ,192 orang sembuh, dan 209 orang sembuh.

Anak-anak di Kampung Muka sore itu pun tampak tak peduli dengan imbauan physical distancing. Mereka asyik berlarian ke sana ke mari seperti Lionel Messi atau mungkin berlaga bak Sergio Ramos.

Untuk mencegah penularan virus corona lewat droplet (tetesan air liur) di Kampung Muka juga sudah pasti sulit. Bayangkan bisa terjadi physical distancing rumah yang sempit dan berhimpitan.

Sementara, para perempuan duduk di bagian belakang truk kontainer sambil tertawa riang. Bagi mereka, keceriaan ini mungkin adalah obat penolak bala yang manjur.

Mereka hampir bisa dipastikan tak bisa menikmati event-event online yang banyak digelar di aplikasi Zoom atau Google Hangout. Tatap muka bagi anak-anak Kampung Muka adalah keseharian yang ditemui di pintu-pintu rumah kontrakan yang berhimpitan.

Jangan bayangkan, ada rumah-rumah dengan luas ratusan meter persegi di Kampung Muka. Potret ini ironisnya berada di balik gedung-gedung pencakar langit ibukota.

Anak-anak di lapangan Tanah Merah harus berbagi tempat dengan truk-truk berukuran besar. Sutrisno bilang, lapangan itu juga menjadi tempat parkir truk-truk muatan barang.

Setiap hari truk-truk itu parkir sebelum pergi ke kota-kota besar seperti Bandung, Semarang, Surabaya, dan kota lainnya.

“Kalau sore biasanya jalan. Tapi karena corona ini, truk-truknya ga pada jalan,” ungkap Sutrisno yang berumur sekitar 40 tahunan.

Boleh dibilang, lapangan ini adalah mall-nya warga Kampung Muka. Saat itu, ada banyak warung-warung jajanan semi permanen.

anak kampung muka, kelurahan ancol, kecamatan pademangan, wabah covid-19, physical distancing

Anak-anak Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara bermain sepak bola di area perkampungan pada Minggu (5/4/2020). Saat ini, Indonesia menghadapi wabah pandemi corona dan mengharuskan setiap orang melakukan pembatasan fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan. Pemerintah menyatakan per Senin (6/4/2020) sore, ada 2.491 orang positif corona, 192 orang sembuh, dan 209 orang sembuh.

Stan-stan makanan berupa gerobak bakso, susu jahe, cilok, dan lainnya kebetulan hanya parkir dan tak melayani pengunjung.

Warga lainnya ada yang sedang bengong, menjual layangan dan benang gelasan yang hampir tepo, dan juga menggendong bayi. Sesekali penjual air bersih dengan celana bahan belel dan handuk di lehernya lalu lalang menjual seharga Rp 4.000 per dirigen.

Gerobak-gerobak bertuliskan “Telor Gulung”, “Mie Ayam Bakso”, dan rokok keliling berpayung warna-warni terparkir di pinggir lapangan dan di depan rumah bedeng.

Motor-motor juga terparkir berjajar dan berdampingan dengan jemuran-jemuran. Sebuah wajah kampung yang lazim di temui area perkampungan padat di Jakarta.

Mereka hidup berdampingan dengan sampah-sampah plastik yang bertebaran di lapangan, sanitasi yang buruk, dan jauh dari bayangan konsumsi gizi seimbang.

Nasi aking adalah gambaran camilan yang disantap untuk mengganjal perut saat itu. Namun, dari raut wajahnya mereka tetap terlihat bersyukur sambil menyimpan pilu di hatinya.

“Untuk bertahan sekarang, mungkin sisa kemarin itu masih ada simpanan, buat makan hari ini bisa ya. Untuk ke sananya, kalau belum ada kepastian kapan selesai masa ini (corona), bingung juga ya,” kata Sutrisno yang berkaos biru dongker bertuliskan tipografi Revolution-Resolution.

Dengan aksen sedikit Jawa, ia menceritakan kalau warga Kampung Muka banyak yang tinggal di kontrakan.

anak kampung muka, kelurahan ancol, kecamatan pademangan, wabah covid-19, physical distancing

Anak-anak Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara bermain di area perkampungan pada Minggu (5/4/2020). Saat ini, Indonesia menghadapi wabah pandemi corona dan mengharuskan setiap orang melakukan pembatasan fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan. Pemerintah menyatakan per Senin (6/4/2020) sore, ada 2.491 orang positif corona, 192 orang sembuh, dan 209 orang sembuh.

Di saat pemerintah mengimbau secara terus menerus untuk bekerja, belajar, dan ibadah di rumah, Sutrisno tak punya pilihan selain mengikutinya. Jikalau harus memberontak, uang pun tak dapat.

“Memang dagang bisa, tapi kan ga ada pengunjung (di Kota Tua), Ga ada yang beli. Keluar bisa, tapi ga ada pembeli sama sekali. Pemasukannya sama sekali tak ada,” kata laki-laki berambut gondrong itu.

Sutrisno dan warga lainnya pusing bukan kepalang jika memikirkan nasibnya dan warga lainnya. Uang kontrakan dan cicilan motor bak rima dalam bait kematian. Ya, setidaknya hingga hidupnya tenang dari teror tagihan.

Sutrisno paham hak dan kewajiban pemilik kontrakan. Sebagai pengontrak, ia mengerti harus menjalankan kewajiban untuk membayar uang sewa kontrakan.

Ia sangat bersyukur jika para pemilik kontrakan mengerti jika pengontrak telat membayar uang sewa.

“Yang ngontrak punya rumah ini mending pengertian, kalau gak pengertian kan diusir. Tuh sudah ada yang diusir (dari kontrakan),” kata Sri menimpali Sutrisno.

Hingga Minggu kemarin, Sutrisno mengaku belum ada bantuan untuk warga Kampung Muka demi menyambung perekonomian mereka yang tengah sekarat. Bantuan berupa bahan kebutuhan pokok sehari-hari dan uang pun juga belum mereka terima.

Di Kampung Muka, menurut Sutrisno ada sekitar 500 kepala keluarga yang tinggal.

“Yang dibutuhkan ini untuk makan sehari-hari seperti sembako. Yang punya anak kecil juga kan butuh kebutuhannya. Mau ga mau kan butuh,” ujarnya.

anak kampung muka, kelurahan ancol, kecamatan pademangan, wabah covid-19, physical distancing

Anak-anak Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara bermain di area perkampungan pada Minggu (5/4/2020). Saat ini, Indonesia menghadapi wabah pandemi corona dan mengharuskan setiap orang melakukan pembatasan fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan. Pemerintah menyatakan per Senin (6/4/2020) sore, ada 2.491 orang positif corona, 192 orang sembuh, dan 209 orang sembuh.

Saat ini, Sutrisno, Eli, Sri, dan warga miskin kota lainnya tentu takut dengan corona. Namun, mereka pun takut bila tak memiliki uang. Kerja bisa mati karena corona, tak kerja bisa mati kelaparan.

Kampung Muka adalah secuil potret kaum miskin kota di Jakarta, episentrum corona di Indonesia. Dari data yang dirilis 15 Januari 2020 oleh Badan Pusat Statistik Jakarta, presentase penduduk miskin di Jakarta pada September 2019 sebanyak 362.300 orang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2017 ada 445 RW kumuh di Jakarta, dan Kampung Muka termasuk di dalamnya. Penduduk miskin, menurut BPS adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Warga Kampung Muka mungkin tak akan sempat memikirkan ketahanan pangan mereka beberapa hari ke depan seperti yang lazim dilakukan warga Jakarta lain di supermarket.

Mereka tak akan terlihat di Foodhall, Kem Chiks, Ranch Market, Farmers Market, dan supermarket akbar lainnya. Apalagi, berpikir tentang cek swab untuk corona.

Berdasarkan data website corona.jakarta.go.id, terdapat 1.522 kasus positif corona di Jakarta dengan rincian 144 kasus meninggal dunia, 75 kasus sembuh, 976 kasus dirawat, dan 357 kasus isolasi mandiri.

warga kampung muka, kelurahan ancol, kecamatan pademangan, jakarta utara, wabah covid-19, physical distancing

Warga Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara menghabiskan waktu sore sambil bersantai dan makan sore dengan sanak saudara dipan pada Minggu (5/4/2020). Saat ini, Indonesia menghadapi wabah pandemi corona dan mengharuskan setiap orang melakukan pembatasan fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan. Pemerintah menyatakan per Senin (6/4/2020) sore, ada 2.491 orang positif corona, 192 orang sembuh, dan 209 orang sembuh.

Saat ini, Jakarta juga telah berada dalam status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penyebaran corona.

Meminjam rima dari Herry Sutresna alias Ucok Homicide dalam lagu Barisan Nisan (2004), kemungkinan terbesar sekarang adalah memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan untuk kemungkinan untuk berkata tidak mungkin.

Ya, tidak mungkin untuk berkata tidak bisa membantu kaum miskin kota yang terdampak corona.

Solidaritas adalah kunci untuk membantu kaum miskin kota dan masyarakat rentan miskin yang sekarat di tengah corona.

Kita hanya bisa berharap wabah pandemi corona cepat selesai sambil mengulurkan tangan demi mencegah mereka jatuh tersungkur dan kehabisan nafas.

Komuter dan Kemarahan Penumpang

IMG_9131Kamis (31/8/2017) sekitar pukul 20.30 WIB, saya naik kereta commuter line dari Stasiun Manggarai menuju Stasiun Depok Baru. Kondisi gerbong kereta penuh. Sebelumnya, di Stasiun Manggarai pun sudah padat merayap.

Cukup sulit untuk naik ke dalam gerbong. Tak jarang saya meliuk-liukkan badan untuk menembus barikade penumpang yang berada di pintu masuk. Yak, saya berhasil masuk dengan usaha yang tak sedikit.

Kereta meninggalkan Stasiun Manggarai. Saya hanya menghabiskan waktu dengan mengecek berita tentang Ekspedisi Pemanjatan Tebing Puruk Sandukui dari Mapala UI dan sambil mendengarkan lagu berjudul Kuning dari band Rumah Sakit. Keheningan saya pecah ketika kereta mulai memasuki Stasiun Lenteng Agung.

“Eeuuhh,” keluh seorang ibu-ibu sambil mendorong saya.

Si ibu menganggap saya mendorongnya. Padahal, saya pun juga terdorong oleh orang lain. Ibu itu punya tinggi sebahu saya.

Saya pun melepaskan earphone dan menoleh kebingungan. Si ibu mendorong dengan muka yang serius. Posisi ibu itu menghadap ke jendela dan saya berada di belakangnya menghadap ke bordes gerbong. Saya anggap mungkin ibu itu merasa tak nyaman dengan suasana kereta yang penuh penumpang. Begitupun dengan saya.

Kemudian saya kembali ditegur.

“Mas mendingan mas pindah posisi menghadap ke ibu. Itu kedorong-dorong kena tangan,” kata seorang perempuan di sebelahnya.

Saya menjawab.

“Makasih mba. Nanti bisa menimbulkan fitnah. Sering kejadian kasus pelecehan karena posisinya membelakangi. Saya tak mau itu terjadi,” balas saya dengan diplomatis dan tenang.

“Yaelah mas. tinggal madep (menghadap) aja susah banget,” balas si perempuan itu lagi.

Si ibu yang merasa terdorong hanya melihat saja.

“Maaf mba. Saya sering lihat kasus seperti itu. saya juga sering naik kereta kok. Ini memang sedang penuh. Maklum pulang kerja,” ujar saya.

“Yaelah mas biasa aja kali. Cuma dikasih tau. Yaudah diem aja mas,” balasnya.

“Saya daritadi juga diem mba. Mbanya aja yang marah-marah,” ungkap saya.

“Oh begitu ya? heh,” jawabnya dengan ketus.

“udah mba udah mba. Sekarang mau Lebaran kan? yuk takbiran aja,” ajak si Ibu itu untuk menenangkan.

Saya kemudian tak menanggapi kembali perkataan si perempuan. Saya kembali menggunakan earphone dan menghindari debat itu. Pada dasarnya, saya ingin menghormati perempuan dengan menjaga posisi berdiri saya di dalam kereta yang penuh. Sebisa mungkin saya menahan tubuh agar tak menyentuh perempuan meski terdorong dan gerbong kereta terguncang.

Kehidupan di kereta commuter line memang keras. Meski sudah menjaga diri, belum tentu dianggap benar.

Dalam Ingatan Tentang Kakek

Adi memacu gas motor kesayangannya tanpa belas kasih. Mesin motornya berteriak kencang. Angin malam menjadi temannya di sepanjang jalan. Jaket jeans membalut badannya, yang kata teman-teman Adi, seperti tinggal tulang.

Saat itu hari sudah gelap. Jalan Raya Margonda, Depok tampak lengang. Hanya ada beberapa pengemudi ojek daring dan mobil-mobil pikap yang menjajakan tahu bulat nan hangat di pinggir jalan.

“Aku harus cepat sampai rumah,” Adi membatin.

Sejauh ini, ia sudah berkendara sekitar 40 kilometer dari barat kota Jakarta. Motor yang ia kendarai sebenarnya sudah layak untuk masuk “museum”. Maklum, peninggalan dari sang kakek di Magelang. Jadi, betul-betul ia rawat betul.

Ia mengingat sekali apa kata kakeknya.

“Nduk, mbah kepingin motor iki diopeni. Ben, anakmu iso nganggo motor iki. (Dek, kakek mau motor ini diurus. Supaya, anak kamu bisa pakai motor ini),” kata Mbah Padmo, kakek Adi sebelum meninggal pada tahun 2010.

“Njih, Mbah (Iya, mbah),” balas Adi.

Mbah Padmo dulu sering naik motor tua itu. Bukan sembarang motor. Motor Mbah Padmo adalah motor kenangan semasa hidupnya. Honda CB 100 keluaran tahun 1970 itu motor Mbah Padmo. Kelir merah marun warnanya.

“Mbah ketemu Mbah Uti jaman biyen ning Alun-Alun Kota Magelang. Cedak water toren iku, Di. Kuwi wis ono kiro-kiro jak jaman Londo. Lah, montor e yo CB iki (Kakek ketemu nenek jaman dulu di Alun-Alun Kota Magelang. Deket water toren itu. Lah, motornya ya CB ini),” ujar Mbah Padmo saat Adi mengingat ucapan kakeknya.

Cerita kakek Adi terus lekat di ingatan.

*

Beberapa waktu sebelumnya, Adi pergi ke sebuah kafe di bilangan Cipete, Jakarta. Kafe dengan model kekinian. Ia datang bersama dua orang rekannya.

“Di, udah lama nunggu?,” kata Andaru sambil menepuk bahu Adi.

“Belum, kok, Ru,” jawab Adi.

Mereka duduk berhadapan. Seorang pelayan datang menghampirinya. Dia berseragam serba hitam dengan sebuah kain tenun melingkar di lehernya.

Sang pelayan menyodorkan selembar daftar menu.

“Pesan apa?”

“Saya ice latte dan kentang goreng,”

“Baik. Ditunggu ya, Mas,”

Adi melanjutkan obrolannya dengan Andaru. Alunan musik bossanova menemani mereka. Bangku-bangku lain juga terlihat terisi.  Kebetulan, kafe tempat mereka nongkrong adalah lokasi yang strategis dan terlaris di layanan pesan antar oleh ojek daring.

“Kakek lo apa kabar, Ru?”

“Sehat, Di. Kemarin gw abis main ke Yogya. Kakek gw kadang masih suka ke Candi Borobudur,”

“ooohh, syukur kalo gitu Di,” ujar Adi sambil menunduk.

Andaru sempat bingung. Sangat jarang Adi bertanya ihwal kakek Andaru. Paling banter, Adi suka menanyakan kabar ibu Andaru.

Mereka adalah karib lama. Sedari di sekolah dasar, Adi dan Andaru telah bermain bersama. Mereka dulu bersekolah di SDN 03 Pagi Gandaria Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Mereka bercengkerama hingga larut malam. Segelas ice latte dan kentang goreng menjadi cemilan pengantar.

Lalu, Adi pamit untuk pulang. Andaru pun pulang. Mereka berpisah di perempatan Jalan Raya Pondok Labu. Andaru menuju Ciputat dan Adi ke arah Depok.

*

Derit alarm jam memekakkan telinga Adi. Ia segera meloncat dari tempat tidurnya. Kamar mandi adalah tujuannya.

“Gawat nih. Bisa telat nih gw. Mana dosennya galak lagi,”

Hari itu Adi harus mengikuti kuliah Sejarah Kolonial. Mata kuliah tersebut harus masuk tepat waktu. Adi harus tiba di Universitas Indonesia pukul 08.00 WIB. Sementara, jam telah menunjukkan pukul 07.30 WIB ketika ia bangun dari lelap.

Perjalanan dari rumahnya menuju kampus memakan waktu lebih kurang 15 menit. Ia langsung mandi koboi.  Rambutnya yang rada gondrong itu, ia sisir dengan cekatan.

Brum..brumm..

Adi membetot gasnya menuju kampus.

Ternyata ia terlambat 20 menit. Kelasnya sudah dimulai. Dosennya memberikan hukuman untuk Adi yakni menceritakan tentang subyek kuliahnya.

“Kakek saya dulu membantu Jenderal Soedirman di Magelang. Dulu ia kasih makanan ke tentara-tentara gerilya. Pak Dirman juga pernah menginap di rumah kakek buyut saya,” ucap Adi bersemangat di depan teman-temannya.

*

“Di, cerita lo tadi seru deh,” kata Syifa, rekan perempuannya di kantin.

“Iya, Fa. Kebetulan kakek gw pejuang,”

“Lo masih sempet ketemu kakek?, ”

” Masih, Fa. Bulan puasa 7 tahun yang lalu. Kakek gw sekarang dimakamin di Magelang,”

“Oh,”

Mereka berbincang hingga jelang magrib. Kantin siang itu tak terlalu penuh. Seperti biasa banyak yang duduk,  tertawa, dan juga bermain kartu di beberapa meja.

“Gw harus pergi, Fa. Ada urusan sebentar,”

“Oke, Di. Hati-hati. Kabarin lagi ya,” kata Syifa sambil menepuk pundak Adi.

*

Di samping Adi, duduk seorang laki-laki berambut putih total. Badannya kering kerontang. Orang-orang berlalu lalang tanpa henti. Sang kakek hanya duduk sambil memegangi perutnya. Matanya nanar. Mulutnya terdiam membisu.

Adi saat itu tengah berada di Kawasan Kota Tua. Kebetulan, ia mendapat pekerjaan tambahan untuk menulis tentang wisata Kota Tua.

“Kakek, sudah makan?,”

“Belum, De. Masih menunggu cucu lagi pergi main. Katanya nanti mau bawa makan,”

Sebenarnya, Adi mesti melanjutkan tugasnya. Namun, ia pergi ke sebuah warung kecil untuk membelikan kakek itu roti dan teh manis hangat.

Suasana di Kota Tua tetiba riuh. Semua orang berkumpul di tengah pelataran area yang dulu pernah dikuasai oleh Belanda. Tetiba aparat berseragam coklat juga merapat ke tempat ia persis duduk tadi.

“Ada apa, Pak?” tanya Adi sambil memegang kantong plastik berisi roti dan teh manis hangat.

“Itu ada kakek-kakek meninggal, Dek,”

Bak petir di siang bolong, Adi tersentak. Ternyata kakek yang meninggal itu adalah yang tadi berbincang dengannya. Adi terguncang. Ia tak menyangka dalam hitungan kurang dari setengah jam, ia telah berpisah dengan kakek itu.

Air matanya mengalir. Lidahnya kelu. Tangannya gemetar. Kebingungan melanda dirinya. Sementara, semua orang masih berkerumun. Polisi masih mengamankan sekitar tempat kejadian perkara sambil menunggu pihak rumah sakit untuk datang. Cucunya pun juga belum datang.

Sungguh. Adi tak kuasa melihat peristiwa itu. Lalu, ia melangkah menuju tempat motornya diparkir.

Adi teringat bahwa esok hari harus pergi ke Magelang. Ia bersama orang tuanya akan menziarahi makam kakeknya. Keretanya akan berangkat pada pukul 07.00 WIB dari Stasiun Pasar Senen. Sawunggalih Pagi nama keretanya. Momen itu tepat pada hari Lebaran.

Adi masih teringat betul bagaimana percakapan dengan seorang kakek tua itu. Sosok kakek itu terus membayang di kepala Adi selama perjalanan menuju Depok.

Ia langsung tancap gas dengan motor tuanya itu.

“Kakek, aku besok datang ke kampung halaman. Makammu pasti sudah kotor, Kek,”

Hujan Bulan November

Semua kini bersorak. Tangan ditengadahkan ke langit. Syukur terucap dari kaum-kaum yang nestapa yang bak kamar mandinya tak terisi. Tanah gembur kembali sediakala. Air sungai mulai meninggi. Anak-anak bisa menemukan hiburan nan murah. Ya, sekarang sudah mulai hujan. Aku mulai merasakan air turun dari langit dan beringas menghajar wajah.

Awal November, cerita itu dimulai. Kabar mulai tersiar ke penjuru nusantara. Bahwasanya hujan telah mengurangi jumlah titik api di hutan-hutan gambut dilahap api yang tak bertanggung jawab. Asap mulai menipis. Warga bisa menghirup udara segar. Aku adalah orang yang hanya dapat tersenyum kembali mendengar berita baik ini. Aku rasa kamu pun juga demikian. Mari kita bergembira. Pak tani di desa-desa yang jarang kita temui pasti tersenyum pada pagi hari ketika mulai mengunjungi sawah.

Sapardi pernah menuliskan sebuah puisi berjudul “Hujan Bulan Juni”. Ia menggambarkan tentang ketabahan, kearifan, dan bijaknya hujan bulan Juni. Bahwa jejaknya terhapus di jalan, rindunya dirahasiakan kepada bunga, dan terserap oleh akar pohon. Saat ini demikian, hujan bulan November. Ia pun mulai meninggalkan jejak-jejak nanti akan hilang yang terserap. Di tanah, hujan akan kembali menyuburkan. Ia pun akan mengisi ruang-ruang tanah dan bersiap kembali dihisap oleh mesin-mesin milik manusia.

Hari Minggu (1/11/2015) lalu, Depok diguyur hujan. Mulanya, rintik-rintik tapi kemudian langit langsung menumpahkan seluruh isinya. Semua yang berkendara dengan motor mengurangi laju dan lalu menepi ke pinggir jalan. Mereka turun dan lalu berteduh. Beda dengan pengendara mobil. Sementara aku terus membelah aspal kembali menuju singgasana. Dengan Nanu yang setia menemani setiap hari. Kali ini, Nanu pertama kali bermandi ria di tengah hujan. Dia tampak senang. Ia tak pundung di tengah hujan.

Saat melintas di Universitas Indonesia pada hari Senin (2/11/2015), hujan turun deras. Aku sebentar berteduh di Fakultas Hukum. Beberapa mahasiswa keluar dengan payung menembus hujan. Aku tak mau kehujanan. Berteduh adalah pilihan yang tepat. Sebatang rokok aku nyalakan untuk menemani dinginnya malam. Dua tiga pesan muncul di layar handphone saya. Tertulis bahwa pesan di Kalibata, Sudirman, Semanggi juga turun hujan. Aku pun ikut mengabarkan jika di Universitas Indonesia juga turun hujan.

Tak sabar aku menunggu hujan. Namun seseorang tetap mengingatkanku untuk tetap berteduh agar tak kehujanan. Ia tampak khawatir dengan kondisiku. Ah tenang saja, aku baik-baik saja. Buktinya, aku masih bisa menulis. Rasa-rasanya, kesabaranku mulai habis. Aku putuskan untuk merobek tirai-tirai hujan. Air dari langit siap menampar dan menghantamku. Niat tetap bulat. Aku pergi menyusuri jalan melewati Fakultas Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Ekonomi hingga Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) Universitas Indonesia. Jam menunjukkan pukul 22.00.

Lama aku tak mandi hujan. Di sepanjang jalan, air nan deras kerap menutup wajahku. Mataku tak bisa melihat. Kupacu Nanu untuk segera melaju. Ia berteriak kencang. Roda-roda motorku berputar cepat. Knalpotku menggelegar. Dapur pacu Nanu bersahutan. Kubelokkan stang motor menuju Pusgiwa. Aku tiba di Sekretariat Mapala UI. Aku basah kuyup. Aku senang bisa selamat sampai tujuan. Sesuai dengan doa dari seseorang yang kusayang. Terima kasih ya. Hujan ini pertanda rindumu datang. Hujan Bulan November ini adalah kisah pertama kita berdua. Semoga tetap teduh dan wangi petrichor tetap bisa kita cium berdua.

Depok, 2 November 2015. Ketika hujan makin sering turun dan masih menunggu reda.

 

 

Satu Bulan

Kita pernah berikrar untuk saling berjauhan. Ingatkah kamu waktu itu? Baru satu hari berlalu, kamu menghubungiku lagi. Ya, kita kembali bertemu di sebuah mall di kota yang terkenal dengan buah belimbing. Lalu, kita bersama memasuki gedung kaca yang sarat akan hiburan. Sebuah film kisah nyata berjudul “Everest” menjadi santapan.

Kita kembali berbincang, tertawa, dan berjalan bersama juga bergandengan tangan. Semua peristiwa itu masih lekat di benak. Pada akhir bulan Juli lalu pun aku masih ingat. Kala Menteri Pariwisata Arief Yahya sedang diserbu oleh para kuli tinta. Betul, termasuk aku juga. Di sana, senyum simpulmu berhasil mengikat pandanganku.

Setiap pagi, kita selalu menyapa. Entah kamu atau aku terlebih dulu. Kamu sudah berangkat, kadang aku masih terlelap. Begitu sebaliknya. Kita masih bergantung pada deret huruf dan angka yang bersatu membentuk kata dan agenda. Kamu belum sarapan. Susah ya buat sarapan. Oh iya, kamu kan susah makan nasi. Kamu sampai di Depok, aku pergi menuju ke Jakarta. Kita masih berbeda.

Waktu terasa cepat berlalu. Aku tenggelam dalam kesibukan. Kamu terhempas kepadatan. Hanya barisan kata yang mampu tertulis di layar kaca telepon genggam yang terlihat. Namun, suara kita juga merasuki telinga. Terkadang foto juga menjadi pelipur lara. Waktu berjumpa hanya sekelebatan mata. Apalagi kemarin, hampir dua minggu lamanya aku tak berada di kota-kota yang menjadi tempat pertemuan kita.

Dalam hati, hanyalah doa yang terucap. Semoga kita baik-baik saja. Kita dapat selalu tertawa dan terus berjuang. Demi masa depan yang sudah menunggu. Setiap fajar, siang, sore, dan malam kita terus terjaga. Dalam perjalanan hidup, kita meminta. Pada-Nya, kita memohon. Dia tak tidur. Selalu mendengar dan melihat. Walaupun hamba-Nya terlelap. Seperti sekarang yang kamu lakukan. Tidur.

Kemarin, tepatnya pukul 13.30 WIB, kita kembali bertemu. Setelah lama aku pergi. Menariknya, kita melakukan di tempat yang sama. Dengan aktifitas yang sama tapi dengan film yang berbeda. Kali ini film The Last Witch Hunter yang baru dirilis kemarin lusa, 23 Oktober 2015. Film yang dibintangi Vin Diesel dan bercerita tentang pemburu penyihir berlatar tempat di New York. Kita terpana dan bertanya-tanya “siapakah Kaulder ini?” di sudut kursi bioskop dengan urutan L. Ah filmnya seru ya. Sebelumnya, kita juga nonton video perjalanan Chulu West-nya anak Mapala UI di Pusgiwa. Lumayan nontonnya.

Setelah film berakhir, kita pergi ke lorong jalan Kober membeli kabel data iPhone. Kalau tidak beli, tak mungkin tulisan ini selesai dan diunggah di blogku yang usang. Lagipula, hari ini aku juga mesti bekerja. Hanya telepon tenggam berlogo buah apel ini andalanku. Maklum, laptopku sedang rusak. Kita kembali bergegas. Bekasi adalah tujuan akhirnya.

Kamu sempat tertidur ketika Nanu meninggalkan Tanjung Barat dan memasuki Pasar Minggu. Aku dan Nanu memelankan laju supaya kamu bisa terlelap. Maafkan aku dan Nanu. Lain waktu kita pergi dengan lebih nyaman ya. Kita sempat berhenti di sebuah masjid di daerah Pasar Minggu Baru. Sebentar kita menghadap-Nya. Namun perut mulai lapar. Kita kembali melaju menuju Duren Sawit, jalan potong menuju Pulo Gadung. Kamu bilang aku hapal jalan. Jalan itu adalah rute menuju rumah saudaraku. Jadi aku bisa hapal.

Kota Harapan Indah sudah mulai dekat. Tetiba kamu mabuk. “Aku mual. Mungkin karena naik motor,” keluh kamu. Kok bisa ya? Sungguh bertolak belakang. Aku malah mabuk jika naik mobil. Sedikit lagi sampai kok. Nanu bergerak lincah. Kamu keheranan. Kan perut sudah mulai lapar. Rencananya, kita akan menikmati makanan di sebuah kedai berkonsep warung kopi. Namun, karena ramai kita pindah ke tenda kecil warung yang menghidangkan makanan laut. Kita langsung melahap nasi goreng, indomie rebus, roti bakar, dan teh manis. Kenyang.

Terima kasih ya. Sebulan sudah kita bersama. Saling mengisi hari-hari. Tersenyum bersama. Walau kadang kekurangan masih tampak sana-sini. Kita instropeksi dan mencari solusi. Tujuannya supaya lebih baik. Sekarang hari ke-31. Kamu mengirimkan pesan panjang. Di salah satu bagian akan menungguku sampai di rumah. Namun, nyatanya kamu sudah tidur. Pasti kamu lelah. Biarlah kamu menjadi penjelajah mimpi seperti di film tadi. Tapi, cukup kenangan yang baik saja ya. Kita akan selalu berjalan bersama. Mudah-mudahan ya. Semoga Dia mengizinkan. Selamat pagi.

Depok, 25 Oktober 2015. Sebulan perjalanan bersamamu.

Mampus

Mampus kau
Salah siapa kau mengusikku
Aku adalah penguasa
Menjalari setiap jengkal bumi
Kerap menghantui kalbu
Selalu membayangi hari-harimu
Aku berjalan di lorong-lorong gelap
Dari gedung tinggi hingga gang-gang kumuh
Tempat dingin dan juga lembap

Aku bisa bertemu presiden
Rakyat kecil juga aku sambangi
Dari direktur hingga pengangguran
Siapapun kamu akan kulibas
Kutabrak
Kulindas
Kutendang
Kulempar
Kuremas
Kupukul
Ah, sudahlah
Berdamailah denganku
Siapapun kamu

Aku adalah rindu

Saat bertemu dengan rindu, Depok 4 Oktober 2015

Mie Ayam dan Majalah

Mie ayam dan majalah adalah dua hal yang menjadi kombinasi yang sempurna malam ini. Bagaimana mungkin bisa? Majalah adalah bacaan, sementara mie ayam adalah makanan. Yang pertama untuk rohani dan yang kedua adalah untuk jasmani. Yang pertama untuk menambah pengetahuan, yang kedua untuk membuat kenyang.

Untuk pilihan rasa mie ayam, rata-rata semua penjual menawarkan dua pilihan yaitu kering dan basah. Pilihan basah menggunakan kuah dan pilihan kering atau biasa dikenal dengan nama yamin, tanpa kuah dan menggunakan kecap tambahan. Sementara majalah, dalam segi penyajian juga terdapat dua pilihan yaitu tercetak dan digital. Pilihan tercetak dapat dipegang secara utuh dan dibaca langsung, dan pilihan digital, tak dapat disentuh dan memerlukan alat bantu berupa gawai.

Namun, hari ini dua hal tersebut sangat berbeda walaupun sudah sangat familiar di sekitar saya. Yang membuat berbeda adalah objek yang melakukannya. Adalah dia yang mengalaminya. Juga saya tentunya. Ya, kami berdua. Kami duduk bersama di sebuah pelataran suatu tempat di mana Dian Sastrowardoyo berkuliah dulu. Juga tempat Fadli Zon menimba ilmu hingga sekarang ia bisa menjadi politisi papan atas Indonesia. Perbincangan tentang mie ayam dan majalah terasa begitu bermakna.

Sejak minggu lalu, rencana ini sudah kami buat. Semua berawal dari tugas mencari majalah. Dia mendapatkan tugas untuk mencari majalah internal maupun eksternal terbitan pemerintah atau perusahaan. Kebetulan saya memiliki beberapa majalah tersebut. Disusunlah rencana untuk berjumpa. Rencana itu berlanjut menjadi janji. Janji bertemu selepas studi yang dia lakukan.

Dari awal pertemuan, saya menjadi tahu kalau dia takut dengan anjing. Bahkan anjing yang sudah jinak. Dia sempat menghindar. Raut wajahnya memancarkan rasa takut. “Tenang. Gak gigit kok. Sudah jinak ini si Pus-Pus,” kata saya. “Enggak ah. Kan haram,” jawabnya. Ia bersembunyi di balik pagar. Sebelumnya di kamar mandi. Lucu ya. Saya juga takut sih. Tapi tak separah itu. Kalau anjing-anjing lain baru saya takut. Apalagi kalau sampai mengejar. Kadang saya membawa batu untuk dilemparkan ke anjing yang mengejar saya.

Pelataran tempat saya duduk saat ini telah banyak berubah. Dulu, waktu saya masih berkuliah, banyak mahasiswa yang duduk bercengkerama di sini. Mulai dari membahas kuliah, unit kegiatam mahasiswa, aksi-aksi berbentuk demo, acara-acara fakultas, atau cuma jadi tempat ajang pendekatan mahasiswa incaran. Namun tak jarang juga tempat ini digunakan menjadi tempat doktrinisasi aneka ideologi. Kalau dulu, saya hanya makan dan bersantai saja sambil makan gorengan, minum kopi, dan menghisap sebatang rokok.

Saya kali ini banyak bercerita tentang keluarga. Perbincangan bergulir tentang adik saya yang kini juga belum mengecap dunia perkuliahan. Dia cukup keheranan. “Dia senengnya apa emang?,” kata dia. “Ya, udah milih sih tapi gak lulus juga,” jawab saya. Lalu, berganti dengan majalah. Ia menceritakan tentang tugasnya. Menurut saya, tugasnya menarik. Ia mengambil salah satu topik yang belum pernah diambil. Satu pilihan yang jitu. Dunia menulis memang menarik untuk digeluti. Bagi saya, ucapan dari Pramoedya Ananta Toer kerap membayangi benak tiap hari.

Malam semakin larut. Mie ayam dan majalah sudah habis dilahap. Secarik uang kertas keluar dari celana jeans berwarna biru. “Matur nuwun nggeh, Bu,” ucap saya dengan bahasa Jawa yang kental. Kami berlalu. Jalan akan berganti rel. Dari motor menjadi kereta. Dari selatan menuju timur. Dari kesunyian menjadi keramaian. Dari udara malam menjadi pendingin ruangan. Namun asa masih tetap sama. Satu pengemudi yang menjalankan. Sekarang sudah pagi. Waktunya pulang. Besok masih harus ke Palmerah. Ia pun masih harus ke Depok.

Universitas Indonesia, 7 September 2015
Perjumpaan yang dinantikan

Si Nanu

Beberapa minggu lalu, saya berkenalan dengan sahabat baru. Ia berbadan kecil, suka berbaju merah, gesit, dan bertenaga. Kegesitannya membuat saya terkesan. Secara umur, dia terpaut 13 tahun dengan saya. Walaupun sudah berumur, dia tetap gesit. Beberapa kali dia menyelamatkan saya dalam keadaan genting.

Dulunya, ia tinggal di Kali Malang, Jakarta Timur. Ia suka berkunjung di sebuah pabrik di bilangan Karawang. Buat saya, cukup jauh daya jelajahnya. Sekarang, dia tinggal bersama saya di Depok. Hampir setiap hari dalam seminggu, ia pergi bersama saya. Berangkat pagi, pulang dini hari. Dari pinggir kota menuju tengah kota.

Oh iya, saya belum perkenalkan pada kalian. Nama dia Nanu. Dianjuga berkuping panjang seperti kelinci. Kulitnya hitam. Jari jemarinya lentik dan berkuku putih. Di baju merahnya, terdapat lambang sayap burung. Kaki-kakinya juga kokoh. Besar siap menopang berat badannya yang tak terlalu berat. Nanu siap berlari jika dibutuhkan.

Suatu ketika saya dan Nanu berkeliling kota Jakarta. Di tengah jalan, kami membelah jalanan ibukota. Di bawah sinar lampu-lampu gedung yang berpendar. Kerlap-kerlip lampu penerangan jalan juga membuat makin ingin berkelana. Orang-orang hanya dapat terpana melihat kami. Saya dengan baju hitam dan kemeja kotak-kotak, sementara Nanu dengan baju merah. Bersemangat seperti dalam diteriakkan oleh Arian Seringai.

Mari sini berdansa denganku: Membakar Jakarta
Sekali ini berdansa denganku: Membakar Jakarta

Ada lagi pengalaman menarik bagi Nanu. Ia pernah pergi bersama seorang wanita berparas manis. Sempat ia malu-malu. “Badanmu kecil ya. Agak bagaimana gitu. Hehe,” kata wanita itu. Walaupun begitu, ia tetap percaya diri. Nanu mengajak wanita itu pergi makan nasi goreng di bilangan Kebon Kacang. “Enak ya. Kapan-kapan ajak aku makan di sini lagi ya,” ujarnya. Nanu senang.

Saat ini, Nanu sedang sakit. Ia terbaring di rumah. Badannya semakin kurus. Tenaganya sedikit berkurang. Saya sudah membawanya ke dokter. Disuntik badannya. Saya memijat badannya. Membaluri dengan cairan yang panas bagaikan remason. Oh cepat sembuh sahabatku. Wahai teman perjalananku. Agar bisa kita nanti bermain bersama lagi. Sampai bertemu lagi sahabatku. Ya, Nanu. Si motor Honda CB 100.

Depok, 5 September 2015
Di depan rumah sambil menghabiskan sebatang rokok.

Bangun Pagi

Bangun pagi bagi beberapa orang adalah satu mimpi buruk yang harus dihadapi. Ketika matahari menyinari wajah, bak zombie kita akan menghindar. Namun bangun pagi itu adalah keharusan. Kata pepatah, kalau bangun siang, rezeki sudah dipatok ayam. Masa iya kalah sama ayam?

Akhir-akhir ini saya bisa setiap hari bangun pagi. Tapi tetap masih kalah dengan si ayam. Dia lebih dulu berkokok. Curang. Bayangkan saja dia masuk kandang lebih dulu daripada saya. Sementara, saya baru pulang kandang 4-5 jam setelahnya. Namun ada satu kemajuan dibanding beberapa minggu yang lalu. Saya selalu bangun siang.

Bangun pagi berarti ada kesempatan untuk berbincang-bincang dengan keluarga. Maklum bekerja sebagai wartawan, jam kerja bisa lebih fleksibel. Ditambah jika sedang rindu rumah, sedikit bisa terobati dengan bangun pagi. Juga tak perlu takut seperti zombie. Lagipula matahari pagi kaya dengan vitamin E. Itu kata pelajaran di sekolah dasar yang tetap sama hingga kini. Namun jangan kesiangan, vitamin E-nya berubah jadi serangan ultra violet. Kanker nanti jadinya.

Bangun pagi di hari libur adalah satu nikmat yang jatuh dari langit. Kita bisa melakukan berbagai hal. Dari nonton televisi hingga pergi ke taman bersama hewan peliharaan. Jika punya pacar, boleh diajak. Nanti bisa pundung kalau tak diajak. Bisa pula mandi pagi. Kalau tak pagi kan bukan mandi pagi namanya. Beda deh. Bangun pagi masih bisa mendengarkan burung-burung bersiul. Mereka mungkin sama seperti kita. Bersiul untuk menarik perhatian pasangannya. Ah, ada-ada saja celoteh pagi ini. Mari melanjutkan aktifitas hari ini.

Depok, 5 September 2015
Dalam rencana mereparasi motor