Artikel ini adalah bagian dari jurnal hidup di tengah pandemi Covid-19. Artikel ini diharapkan bisa terbit secara berseri. Artikel ini sebatas swa-terapi selama masa isolasi mandiri di rumah.
****
Ah saya pikir ini pusing biasa. Esok harinya bertambah jadi panas. Tenggorokan agak sakit. Batuk dan pilek disertai bersin.
“Mungkin ini karena kebanyakan di rumah,” pikir saya, Selasa (5/7/2021).
Dua minggu ke belakang, kantor saya menerapkan kebijakan kerja full Work From Home (WFH). Saya banyak menghabiskan waktu di rumah selama WFH.
Jujur, saya bukanlah tipe pekerja kantoran dan rumahan. “Kantor” saya di bawah terik matahari, pinggir sungai, selokan bau, di pinggir gedung terbakar, dan tempat-tempat absurd lainnya. Bosan!
Bekerja sebagai wartawan di tengah pandemi Covid-19 memang punya tantangan tersendiri. Dengan status sebagai reporter desk Megapolitan, liputan dan wawancara narasumber di lapangan adalah kunci. Keterbatasan narasumber via telpon memang jadi kendala.
Oleh karena itu, lengah dalam penerapan protokol kesehatan sangatlah mungkin terjadi. Ya, itu yang paling mungkin saya lakukan di tengah bahaya risiko penularan Covid-19.
Saya sama sekali tak melakukan liputan ke lapangan selama WFH. Terakhir saya melakukan peliputan yaitu di vaksinasi keliling dari Polda Metro Jaya di Kemang, Jakarta Selatan pada Selasa (29/7/2021) dan di kawasan Jakarta Pusat. Waktu itu, saya ingat betul menghubungi rekan wartawan di wilayah Jakarta Pusat, Wili pada Sabtu (3/7/2021).
“Posisi lagi di mana, Kaka Wili?,”
“Di Sawah Besar. Siap gimana Abang,” balas Wili dengan logatnya yang khas.
“Nanti malam kita muter cari taruna, Kaka Wili. Nanti gue kabari kalo ke Pusat ya,”
“Oke siap, Bang,” tandasnya.
Pada malam itu, saya bersama Wili tak banyak bertemu orang. Ada lima orang secara terpisah yang kami temui. Satu adalah satpam sebuah gerai makanan cepat saji dan dua temannya.
Sementara itu, dua lainnya adalah narasumber kasus tawuran warga yang berujung pembacokan hingga tewas di Jalan Raya Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.
Di lokasi tawuran, ada juga dua wartawan televisi yang saya temui. Setelah itu, kami berpisah. Kami bertemu lagi di perlintasan rel kereta api Stasiun Senen.
“Luncur Tanah Tinggi, Taruna,” ujar rekan wartawan televisi sekitar pukul 02.00 WIB.
Kalimat itu mengawali pertemuan saya dan rombongan Satuan Patroli dan Pengawalan Polda Metro Jaya. Saat itu, polisi menangkap sekelompok remaja yang keluar tengah malam di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.
Saya memang sengaja memilih keluar malam hari dengan pertimbangan suasana yang sepi. Banyak tempat yang menyediakan suasana tak berkerumun. Selain itu, saya pun hanya keluar seorang diri.
Sepulang itu, saya beristirahat di Pos Polisi Gambir di kawasan Monas Timur. Sebuah pos polisi di dalam kawasan Stasiun Gambir. Di situ, saya hanya berdua dengan Wili dan ditemani moncong nyamuk yang menghujam kulit.
Di pos polisi itu, saya numpang beristirahat dan bekerja hingga sore hari. Di sore hari, saya menyempatkan untuk bertemu rekan wartawan lain yang sedang berjuang mengantre oksigen untuk adiknya yang sedang terpapar Covid-19.
Setelah itu, saya pulang ke rumah ke Depok.
Gejala Muncul
Badan ini sungguh tak enak. Bukan menggigil, melainkan hanya sedikit panas. Persendian agak sakit. Ya, khas sekali dengan gejala influenza.
Sepanjang hari Selasa (6/7/2021), saya terbaring lemas. Hari itu saya meminta izin untuk tak masuk kerja kepada Sabrina, atasan saya di desk Megapolitan.
“Mba Sab, gw izin ga masuk besok. Agak puyeng kepala. Hari ini dari siang agak puyeng,” tulis pesan chat saya kepada Sabrina.
“Iyah oke yuu silakan,” balasnya.
Rasanya memang seperti Covid-19. Di kepala saya agak terlintas kalau terpapar Covid-19. Di hari sebelumnya, saya bahkan sudah berencana untuk melakukan swab test antigen di Polres Metro Jakarta Selatan tetapi urung.
Ada satu yang tak bikin tak curiga. Dada saya tak sesak seperti pada umumnya gejala berat yang dialami oleh pasien Covid-19. Saya masih berpikir, “Ah ini cuma kelelahan dan karena kebanyakan di rumah.”
Saya pun menceritakan kepada pasangan saya, Dea. Saya baru beritahu dia pada hari Rabu kalau saya izin tak masuk kerja.
“Pusing-pusing dikit. Kelamaan di rumah,”
“Cepet sembuh ya ayku. Minum air putih banyakin,” balas Dea.
Ia pasti sangat khawatir. Itu terbukti saat saat saya pergi ke klinik dekat rumah pada Kamis malam. Saya kirimkan swafoto dengan masker dua lapis.
Saya berniat untuk menjalani swab test antigen. Harganya Rp105.000. Awalnya saya ingin mencoba swab test antigen di kawasan Warung Buncit-Warung Jati, Pancoran, Jakarta Selatan yang belakangan viral karena harganya murah. Namun, teman saya tak menyarankan.
“Mending jangan di (Warung) Buncit rame bener, di klinik biasa aja sama kok gak sampe 100 rb,” ujar Kamil, wartawan desk Nasional di sebuah kantor berita di kawasan Palmerah.
Saya kemudian meluncur ke sebuah klinik di kawasan Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat. Klinik yang tak terlalu besar itu cukup sepi. Di dalam klinik, antrean tak sampai tiga nomor.
“Nomor 30,” ujar penjaga klinik.
Saya yang memegang nomor antrean 30, langsung masuk ke ruang periksa. Klinik ini cukup familiar bagi saya. Sekitar dua tahun yang lalu, di ruangan yang sama, telapak tangan saya pernah dijahit karena kecelakaan.
“Mulutnya buka, teriak A yaaa,” kata dokter perempuan sambil memasukkan alat tes ke kedua lubang hidung.
Rasa swab tes antigen tak banyak berbeda dengan biasanya. Lubang hidung gatal. Menitikkan air mata pun pasti terjadi. Yang berbeda tentu harga jika mesti mengambil swab test PCR.
Tak sampai 15 menit, hasil swab test antigen saya muncul. Petugas klinik meletakkan sebuah amplop dan balok putih kecil tanda tes. Di situ saya melihat satu garis merah tebal dan satu garis merah samar-samar.
“Mau difoto Mas?” ujar petugas klinik.
Setelah saya foto, saya bergegas membawa amplop itu keluar dari klinik. Saya duduk di sebuah bangku kecil milik warung di pinggir jalan. Perlahan saya buka rekatan amplop. Agak sulit dan terpaksa saya robek.
Isi lipatan kertas hasil swab antigen itu mulai terlihat. Nama pasien muncul. Mata mulai menelusur ke bagian bawah dan ternyata.
“Positif,”
Kaki mendadak lemas. Yang pertama ada dalam pikiran adalah kondisi orang tua. Segera mungkin saya hubungi orangtua untuk melakukan swab test antigen.
Bapak dan ibu saya segera menyusul. Namun, sayang, klinik tempat saya jalani swab test ternyata sudah menutup layanan. Ibu saya segera meluncur ke klinik lain dan saya kembali ke rumah.
“Ibu bapak negatif,” kata ibu saat saya sudah mulai mengisolasi diri di kamar atas.
Gejala Hilang, PCR Positif
Sehari setelah hasil swab tes antigen menunjukkan hasil positif, hidup saya sebagian besar dihabiskan di kasur. Kabar baiknya, saya dan orangtua bisa terpisah cukup jauh. Kabar buruknya, saya tak bisa berinteraksi.
Obat beraneka ragam mulai muncul. Lain kali akan saya jelaskan obat-obat apa saja yang saya konsumsi. Sebenarnya, kondisi badan saya terbilang cukup baik. Tak ada gejala yang tersisa.
Indra penciuman dan perasa relatif berfungsi. Tak ada pusing. Batuk dan pilek hilang. Persis seperti kategori Orang Tanpa Gejala (OTG).
Sabrina, Dea, maupun rekan-rekan lain saya pun menanyakan lewat pesan singkat kabar terkini saya. Saya memang sempat mengabarkan kepada satu rekan saya di organisasi Mapala UI bahwa saya positif Covid-19. Dari rekan saya, ternyata berita itu cepat menyebar luas di kalangan rekan-rekan pencinta alam UI.
Doa-doa penyemangat mulai berdatangan. Ada yang lewat telepon, ada juga yang lewat pesan Whatsapp.
Saya sendiri masih penasaran dengan kondisi tubuh. Banyak kasus para penderita Covid-19 yang saya temui, swab antigen positif, tetapi swab PCR negatif. Entahlah.
Itulah yang saya membuat tetap ingin mengecek kondisi kesehatan saya lewat swab test PCR. Saya kontak Sabrina untuk rencana PCR. Ia bilang akan menghubungi pihak HRD kantor untuk penjadwalan swab tes PCR. Di hari Jumat, surat keluar dan saya dapat tempat test di sebuah klinik di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Pada Sabtu pagi jelang siang, saya keluar rumah untuk kali pertama dengan status positif Covid-19 dari swab tes antigen. Saya nyalakan motor untuk menuju Halim Perdanakusuma.
“Gak pusing kan? Kalau pusing minggir aja dulu” kata ibu saya.
Matahari saat itu terlihat garang. Langit cerah dan terik matahari terpancar. Di Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan, petugas bersiaga. Mereka berjaga di titik penyekatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Sejumlah petugas menghentikan saya.
“Saya mau swab test PCR ke Halim, Ndan. Ini suratnya,” kata saya sambil menunjukkan surat pengantar digital di handphone.
Roda motor berputar lancar melewat Jalan Raya Pasar Minggu hingga Jalan Raya Kalibata. Saya berbelok ke arah Jalan Raya Dewi Sartika lalu menuju perempatan PGC-Cililitan. Saya ambil jalan lurus melewati Jalan Cililitan Besar.
Dari situ, sekitar tiga kilometer saya melaju menuju tempat swab tes PCR. Bandara Halim Perdanakusuma terlihat dan kemudian berbelok ke arah utara.
Klinik itu tak terlihat seperti fasilitas kesehatan. Begitu tiba, petugas klinik meminta surat pengantar dari kantor dan kartu identas saya. Saya segera melakukan swab tes PCR.
“Sehari paling cepat ya nanti dikabari ke kantor,” ujar petugas klinik. Saya pun kembali ke rumah.
Hari Minggu saya lewati seperti hari Sabtu. Tak ada matahari yang bersinar di Depok lantaran langit agak mendung. Kegiatan hanya saya habiskan di rumah. Kabar tentang hasil PCR pun tak datang meski saya kirim pesan ke klinik.
Di hari Senin saya yakin hasil itu sudah dikirimkan ke kantor. Sabrina pun menanyakan hasil. Saya jawab, “Hasilnya dikirim ke kantor, Mba Sab,”.
Ia meminta untuk mengecek ke sekretariat redaksi. Begitu saya telepon, Mbak Ira, sapaan akrabnya, menjawab akan mengecek ke pihak HRD.
Tak lama, ia mengirimkan pesan ke saya.
‘Wahyu,”
“Gimana Mba Ira, positif ya?”
“Iya, positif,”
Tepat pada hari Senin (13/7/2021) pukul 16.37 WIB, saya resmi positif terinfeksi Covid-19.