Komuter dan Kemarahan Penumpang

IMG_9131Kamis (31/8/2017) sekitar pukul 20.30 WIB, saya naik kereta commuter line dari Stasiun Manggarai menuju Stasiun Depok Baru. Kondisi gerbong kereta penuh. Sebelumnya, di Stasiun Manggarai pun sudah padat merayap.

Cukup sulit untuk naik ke dalam gerbong. Tak jarang saya meliuk-liukkan badan untuk menembus barikade penumpang yang berada di pintu masuk. Yak, saya berhasil masuk dengan usaha yang tak sedikit.

Kereta meninggalkan Stasiun Manggarai. Saya hanya menghabiskan waktu dengan mengecek berita tentang Ekspedisi Pemanjatan Tebing Puruk Sandukui dari Mapala UI dan sambil mendengarkan lagu berjudul Kuning dari band Rumah Sakit. Keheningan saya pecah ketika kereta mulai memasuki Stasiun Lenteng Agung.

“Eeuuhh,” keluh seorang ibu-ibu sambil mendorong saya.

Si ibu menganggap saya mendorongnya. Padahal, saya pun juga terdorong oleh orang lain. Ibu itu punya tinggi sebahu saya.

Saya pun melepaskan earphone dan menoleh kebingungan. Si ibu mendorong dengan muka yang serius. Posisi ibu itu menghadap ke jendela dan saya berada di belakangnya menghadap ke bordes gerbong. Saya anggap mungkin ibu itu merasa tak nyaman dengan suasana kereta yang penuh penumpang. Begitupun dengan saya.

Kemudian saya kembali ditegur.

“Mas mendingan mas pindah posisi menghadap ke ibu. Itu kedorong-dorong kena tangan,” kata seorang perempuan di sebelahnya.

Saya menjawab.

“Makasih mba. Nanti bisa menimbulkan fitnah. Sering kejadian kasus pelecehan karena posisinya membelakangi. Saya tak mau itu terjadi,” balas saya dengan diplomatis dan tenang.

“Yaelah mas. tinggal madep (menghadap) aja susah banget,” balas si perempuan itu lagi.

Si ibu yang merasa terdorong hanya melihat saja.

“Maaf mba. Saya sering lihat kasus seperti itu. saya juga sering naik kereta kok. Ini memang sedang penuh. Maklum pulang kerja,” ujar saya.

“Yaelah mas biasa aja kali. Cuma dikasih tau. Yaudah diem aja mas,” balasnya.

“Saya daritadi juga diem mba. Mbanya aja yang marah-marah,” ungkap saya.

“Oh begitu ya? heh,” jawabnya dengan ketus.

“udah mba udah mba. Sekarang mau Lebaran kan? yuk takbiran aja,” ajak si Ibu itu untuk menenangkan.

Saya kemudian tak menanggapi kembali perkataan si perempuan. Saya kembali menggunakan earphone dan menghindari debat itu. Pada dasarnya, saya ingin menghormati perempuan dengan menjaga posisi berdiri saya di dalam kereta yang penuh. Sebisa mungkin saya menahan tubuh agar tak menyentuh perempuan meski terdorong dan gerbong kereta terguncang.

Kehidupan di kereta commuter line memang keras. Meski sudah menjaga diri, belum tentu dianggap benar.